KERAJAAN ISLAM PERTAMA

 

Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, dengan sebutan singkat yaitu Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra, Kabupaten Aceh Utara. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267.


Para sejarawan menelusuri keberadaan kerajaan ini menggunakan sumber dari Hikayat Raja-raja Pasai, serta peninggalan sejarah adat istiadat serta budaya setempat yang masih berjalan dan dipertahankan oleh masyarakat pesisir pantai utara Sumatra. Hal ini dibuktikan dengan beberapa makam raja yang datang pertama kali pada tahun 710 Masehi, serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama keturunan rajanya. Dengan di temukannya Makam Raja ini membuktikan sebelumnya sudah berdiri Kerajaan Samudera Pasai, sebelum Rajanya Meninggal. Berarti Kerajaan Samudera Pasai sudah berdiri sebelum 710 Masehi, dan juga bisa dikatakan Islam sudah masuk di Nusantara sebelum 710 Masehi. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq karya Abu Abdullah ibn Batuthah, musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.


Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, serta dalam Tambo Minangkabau putra dari Ahlul Bait Sayyidina Hussein, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Meurah Silu dan menyebut nama raja yang mukim dari tahun 710 Masehi, hingga para anak cucu nya sebagai penyebar agama Islam di Sumatra, setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Meurah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga, kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 1267 Masehi.


Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin, nama Pasai dan Samudera telah dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, tetapi dalam catatan Tiongkok nama-nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatra waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec atau Perlak, Basma dan Samara atau Samudera.


Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya, Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan, sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326, ia meninggal dunia, dan digantikan oleh anaknya, Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samudera menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.

Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletak antara Sungai Jambu Air dengan Sungai Pasai, Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, tetapi telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik. Sehingga penamaan Lhokseumawe, yang artinya teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.


Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan, baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya, yaitu Sultan Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai, yang tetap berpusat di Pasai. Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Kerajaan Pedir disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.


Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditas andalannya, dalam catatan Ma Huan, disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan, Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini disebut Dirham, yang terbuat dari 70% emas murni dengan berat 0,60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata 2,5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang, yang disusun dengan rotan, dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.


Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires, telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.