Kerajaan Tarumanagara Dan Prasasti Peninggalannya


Tarumanagara atau Kerajaan Taruma, adalah kerajaan tertua kedua di Nusantara setelah Kerajaan Kutai, yang meninggalkan bukti arkeologi. Kerajaan ini pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5, sampai abad ke-7 Masehi. Bukti tertua peninggalan arkeologi dari kerajaan ini adalah prasasti Ciaruteun, berupa batu peringatan dari abad ke-5 Masehi, yang ditandai dengan bentuk tapak kaki raja Purnawarman. 


Kehidupan politik pada masa Kerajaan Tarumanagara diketahui berdasarkan prasasti yang telah ditemukan. Berdasarkan prasasti tersebut, raja yang berhasil meningkatkan kehidupan rakyat adalah Raja Purnawarman, yang dibuktikan dalam prasasti tugu yang menuliskan bahwa penggalian kali yang dilakukan membuat kehidupan rakyat makmur dan merasa aman. Selanjutnya, kondisi sosial pada masa pemerintahan Raja Purnawarman terus meningkat dengan memperhatikan kedudukan kaum Brahmana sebagai tanda penghormatan kepada para dewa. Agama yang dianut oleh Raja Purnawarman dan rakyatnya adalah Hindu Siwa, dengan kaum Brahmana sebagai pemegang peran penting dalam upacara. Sikap toleransi beragama pada masa ini cukup tinggi, dibuktikan dengan adanya agama Budha dan agama nenek moyang.


Prasasti tugu menuliskan bahwa Raja Purnawarman membuat terusan sepanjang 6122 tombak yang dipergunakan sebagai sarana lalu lintas pelayaran dan perdagangan dengan daerah sekitarnya. Hal ini menandakan kehidupan ekonomi rakyatnya tertata rapi. Selain itu, kehidupan budaya pada masa itu sudah berada di dalam taraf tinggi yang ditandai dengan teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti yang memperlihatkan perkembangan budaya tulis menulis.
Terdapat tujuh bukti prasasti yang berhubungan dengan kerajaan Tarumanagara yang ditemukan di daerah Jawa Barat, Jakarta dan Banten. 

Prasasti tersebut di antaranya adalah prasasti Ciaruteun.
prasasti ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu Prasasti Ciaruteun A, yang tertulis dengan bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa, terdiri atas 4 baris puisi India, dan Prasasti Ciaruteun B, berisikan goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya. menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat pada prasasti tersebut menandakan Raja Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran 2 meter dengan tinggi 1,5 meter, dan berbobot 8 ton.
 

kemudian ada prasasti cidanghiang.
Pada prasasti ini tertulis dalam bahasa Sanskerta, dengan aksara Pallawa dan metrum anustubh, tampak keausan dan permukaan yang ditutupi lumut pada permukaan prasasti ini, namun tulisan masih dapat dibaca. Isi dari prasasti ini merupakan pujian dan pengagungan terhadap raja Purnawarman. Prasasti ini pertama kali ditemukan pada tahun 1947 oleh Tubagus Rusjan dan diteliti pada tahun 1947. 

Berdasarkan pesan yang terdapat pada Prasasti Ciaruteun, kita mengetahui bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke-5 dan menginformasikan bahwa pada masa lalu terdapat Kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Raja Purnawarman, yang memuja Dewa Wisnu, yang telah dipengaruhi oleh kebudayaan India dan terbukti pada nama raja yang berakhiran -warman, serta tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya. Pada tahun 1863, prasasti ini sempat hanyut diterjang banjir, sehingga tulisan yang ada menjadi terbalik, kemudian pada 1903, prasasti ini dikembalikan ke tempat semula, dan pada 1981, barulah prasasti ini dilindungi. 


ketiga ada prasasti jambu, atau prasasti pasir koleangkak.
Lokasi Prasasti Jambu di Desa Parakan Muncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, tempat ditemukannya prasasti ini merupakan Perkebunan Karet Sadeng Djamboe pada masa Kolonial Belanda. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1854 oleh Jonathan Rigg, yang diperkirakan dibuat pada abad ke-5. Tulisan pada prasasti ini dipahat pada batu menyerupai segitiga berukuran sekitar 2 hingga 3 meter tiap sisinya, tertulis dalam huruf Pallawa, dengan bahasa Sanskerta dan terdapat pahatan sepasang telapak kaki. 


keempat ada prasasti muara cianten.
Lokasi Prasasti Muara Cianten di Kampung Muara, Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1864 oleh N.W. Hoepermans dan beberapa tokoh lainnya. ukuran Prasasti Muara Cianten sekitar 2,7 kali 1,4 kali 1,4 meter dengan jenis batu andesit, hingga saat ini isi prasasti ini belum dapat dibawa sebab menggunakan huruf sangkha atau ikal seperti huruf pada Prasasti Pasir Awi dan Ciaruteun B.


kelima ada prasasti tugu.
Prasasti ini keluar pada masa pemerintahan Punawarman dan ditemukan pada abad ke-10 Masehi, tertulis dalam bahasa Sanskerta, aksara Pallawa dalam bentuk sloka dengan metrum anustubh. Dari sekian prasasti yang ditemukan saat pemerintahan raja Purnawarman, prasasti Tugu adalah yang terlengkap, walaupun tidak menuliskan angka tahun.
Prasasti Tugu menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru, dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak, atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.


keenam ada prasasti kebon kopi, atau prasasti tapak gajah.
Prasasti ini ditemukan pada awal abad 19 oleh N.W. Hoepermans, tertulis pada bongkahan andesit rata dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dinamakan prasasti Tapak Gajah karena diapit oleh sepasang gambar kaki telapak gajah.
terakhir, yaitu prasasti pasir awi.
prasasti ini ditemukan pada tahun 1864. Gambar pahatan berupa telapak kaki yang terdapat pada batu tersebut menghadap ke arah utara dan timur. untuk isi dari Prasasti Pasir Awi masih belum bisa dibaca karena ditulis menggunakan huruf ikal.