Berdirinya Kerajaan Malaka



Kesultanan Melaka atau Kesultanan Malaka adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Melaka, Malaysia. Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara, kemudian mencapai puncak kejayaan pada abad ke 15, dengan menguasai jalur pelayaran Selat Melaka, sebelum ditaklukan oleh portugal tahun 1511. Kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan Nusantara.
Kerajaan ini tidak meninggalkan bukti arkeologis yang cukup untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Masih menimbulkan kerumitan akan sejarah awal Malaka, terutama hubungannya dengan perkembangan agama Islam di Malaka, serta rentang waktu dari pemerintahan masing-masing raja Malaka. Pada awalnya Islam belum menjadi agama bagi masyarakat Malaka, tetapi perkembangan berikutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan ini yang ditunjukkan oleh gelar sultan yang disandang oleh penguasa Malaka berikutnya.


Setelah dilakukan penelitian sejarah, baik dari buku Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, buku Hikayat Raja-raja Pasai karya Syekh Nuruddin Raniri, buku Riwayat Negeri Malaka dalam bahasa Portugis karya Barros pada tahun 1553, catatan orang Tionghoa, dan juga dengan Babad Tanah Jawa Pararaton, dapat diambil kesimpulan bahwa pada permulaan abad ke 14, negeri Malaka masih di bawah kekuasaan Siam. di sana belum ada kerajaan. Akan tetapi, di Tanah Jawa, telah muncul Kerajaan Hindu Majapahit, yang menjadi lawan kuat Siam dalam memperebutkan kekuasaan di Selat Malaka, terutama pada tahun 1331, ketika Patih Gajah Mada mendapat kepercayaan tinggi dari Batara Majapahit. Setelah Patih Gajah Mada naik, digariskanlah politik yang tegas, yaitu memperluas kekuasaannya dan merebut wilayah kekuasaan Siam. Majapahit pun menyerang Palembang, Singapura dan Samudra Pasai. Padahal, saat itu, di Singapura masih berdiri sebuah kerajaan Hindu.


Dengan jatuhnya Kerajaan Melayu Hindu di Singapura karena serangan Majapahit, Raja Singapura berangkat melarikan diri dari Singapura. Raja tersebut bernama Permaisura. Mula-mula, ia bersembunyi ke sebuah kampung di sebelah utara Pulau Singapura. Dari sana, ia menyeberang ke Semenanjung Melayu melalui Johor. Kemudian, terus ke negeri Muar. Dari Muar, diteruskannya perjalanan ke Sungai Ujung, hingga akhirnya ia sampai di Malaka. Pada saat itu, Malaka merupakan wilayah kekuasaan Siam.


Saat itu, ia mendapati penduduk Malaka sudah mulai ramai, baik dari orang Pasai, Arab, Persia, Gujarat dan Malabar. Kemudian, Sidi Abdul Aziz, seorang ulama yang berasal dari Jeddah, datang ke Malaka, mengajak ia untuk masuk Islam, kemudian Ajakan itu diterima. Sidi Abdul Aziz menganjurkan kepada ia untuk mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Syah. Ia memeluk Islam sekitar tahun 1384. Sejak itu, ia resmi menjadi sultan negeri Malaka.

Sementara itu, berdasarkan Sulalatus Salatin dan Suma Oriental Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara seorang pangeran yang berasal dari palembang yang melarikan diri karena invasi angkatan laut Majapahit. Kronik Dinasti Ming juga mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka, mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405, dan meminta pengakuan atas wilayah kedaulatannya. Sebagai balasan upeti yang diberikan, Kaisar Tiongkok menyetujui untuk memberikan perlindungan pada Malaka, kemudian tercatat ada sampai 29 kali utusan Malaka mengunjungi Kaisar Tiongkok. Pengaruh yang besar dari relasi ini adalah Malaka dapat terhindar dari kemungkinan adanya serangan Siam dari utara, terutama setelah Kaisar Tiongkok mengabarkan penguasa Ayutthaya akan hubungannya dengan Malaka. Keberhasilan dalam hubungan diplomasi dengan Tiongkok memberi manfaat akan kestabilan pemerintahan baru di Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dan juga menjadi salah satu pangkalan armada Ming.


Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1409, mengambarkan Islam telah mulai dianut oleh masyarakat Malaka, sementara berdasarkan catatan Ming, penguasa Malaka mulai menggunakan gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan dalam Sulalatus Salatin, gelar sultan sudah mulai diperkenalkan oleh penganti berikutnya, Raja Iskandar Syah, tokoh yang dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa sejarahwan. Sementara dalam Pararaton disebutkan, terdapat nama tokoh yang mirip, yaitu Bhra Hyang Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Namun kontroversi identifikasi tokoh ini masih diperdebatkan sampai sekarang.


Pada tahun 1414, Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah yang memerintah selama 10 tahun, kemudian menganut agama Islam, dan digantikan oleh Sri Maharaja atau Sultan Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya, Raja Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah. 


Pada masa pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya dan pesisir timur pantai Sumatra, setelah sebelumnya berhasil mengusir serangan Siam. Di mulai dengan menyerang Aru yang disebut sebagai kerajaan yang tidak menjadi muslim dengan baik. Penaklukan Malaka atas kawasan sekitarnya ditopang oleh kekuatan armada laut yang kuat pada masa tersebut, serta kemampuan mengendalikan Orang Laut yang tersebar antara kawasan pesisir timur Pulau Sumatra sampai Laut Tiongkok Selatan. Orang laut ini berperan mengarahkan setiap kapal yang melalui Selat Malaka untuk singgah di Malaka, serta menjamin keselamatan kapal-kapal itu sepanjang jalur pelayarannya setelah membayar cukai di Malaka.

Di bawah pemerintahan raja berikutnya pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal. Lalu Kampar Pekan Tua, dan Siak Gasib juga takluk. Sementara kawasan Indragiri dan Jambi adalah hadiah dari Batara Majapahit untuk Raja Malaka. Sultan mansur Syah memerintah tidak begitu lama, karena diduga ia diracun sampai meninggal, dan kemudian digantikan oleh putranya, Sultan Mahmud Syah.


Hingga akhir abad ke-15, Malaka telah menjadi kota pelabuhan kosmopolitan dan pusat perdagangan dari beberapa hasil bumi seperti emas, timah, lada dan kapur. Malaka muncul sebagai kekuatan utama dalam penguasaan jalur Selat Malaka, termasuk mengendalikan kedua pesisir yang mengapit selat itu.
Pada tahun 1511, saat ibu kota kerajaan tersebut diserang pasukan Portugal di bawah pimpinan Pewaris, Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511, dan pada 24 Agustus Malaka jatuh kepada Portugal. Sultan Mahmud Syah kemudian melarikan diri ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pemerintahan baru. Perlawanan terhadap penaklukan Portugal berlanjut, pada bulan Januari 1513, Pati Unus dengan pasukan dari Demak berkekuatan 100 kapal dan 5000 tentara, mencoba menyerang Malaka, tetapi serangan ini berhasil dikalahkan oleh Portugal. Selanjutnya Portugal menyisir dan menundukkan kawasan antara Selat Malaka.


Sejak tahun 1518 sampai 1520, Sultan Mahmud Syah kembali bangkit dan terus melakukan perlawanan dengan menyerang kedudukan Portugal di Malaka. Namun usaha Sultan Malaka merebut kembali Malaka gagal. Di sisi lain Portugal juga terus memperkukuh penguasaannya atas jalur pelayaran di Selat Malaka. Pada pertengahan tahun 1521, Portugal menyerang Pasai, sekaligus meruntuhkan kerajaan yang juga merupakan sekutu dari Sultan Malaka.


Selanjutnya pada bulan Oktober 1521, pasukan Portugal di bawah pimpinan de Albuquerque mencoba menyerang Bintan untuk meredam perlawanan Sultan Malaka, tetapi serangan ini dapat dipatahkan oleh Sultan Mahmud Syah. Namun dalam serangan berikutnya Portugal berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan Malaka kemudian melarikan diri ke Kampar Pekan Tua, tempat dia wafat 2 tahun kemudian. Berdasarkan Sulalatus Salatin, Sultan Mahmud Syah kemudian digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah yang kemudian tinggal di Pahang beberapa saat sebelum menetap di Johor. Kemudian pada masa berikutnya, para pewaris Sultan Malaka setelah Sultan Mahmud Syah, lebih dikenal disebut dengan Sultan Johor.