SEJARAH AWAL KESULTANAN CIREBON



Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan di daratan utara pulau Jawa bagian barat, pada abad ke-15 dan 16, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau, yang  berlokasi di pantai utara pulau Jawa.


Kesultanan Cirebon didirikan di Dalem Agung Pakungwati sebagai pusat pemerintahan negara islam kesultanan Cirebon, letak dalem agung pakungwati sekarang menjadi Keraton Kasepuhan.
Kesultanan Cirebon erat kaitannya dengan sosok Sunan Gunung Jati, yang dikenal sebagai salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Lampung dan Jawa bagian barat.
Kesultanan Cirebon mampu bertahan selama 3 abad, sejak diakuinya Walangsungsang sebagai Penguasa Cirebon, pada 1430, hingga terjadinya kisruh kekuasaan, akibat kosongnya posisi Sultan Cirebon sepeninggal Sultan Abdul Karim pada 1677. Tipu daya Mataram masa Amangkurat 1, serta dekatnya sebagian keluarga kesultanan Cirebon dengan Belanda menyebabkan perlahan kekuasaan Cirebon akhirnya runtuh, terlebih perkara derajat paling tinggi diantara keluarga besar kesultanan Cirebon semakin mempercepat keruntuhan kesultanan Cirebon pada akhir abad ke 17. Sejarah asal mula.


Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja, pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil, yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban, karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda, dan datang untuk bertempat tinggal atau berdagang.


Di abad ke-14, seorang pangeran Galuh bernama Bratalegawa memeluk Islam, dan memutuskan pindah ke Caruban Girang, serta bermukim disana dengan tujuan untuk menyebarkan Islam kepada penduduk sekitar, menjadikan Cirebon sebagai cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan, dan rebon atau udang kecil di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi, atau belendrang dari udang rebon inilah, berkembang sebutan cai-rebon yang kemudian menjadi Cirebon.


Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar, dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa, baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara, maupun dengan bagian dunia lainnya.
Perkembangan awal.
Ki Gedeng Tapa adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura. Kerajaan ini bertugas mengatur pelabuhan Muarajati Cirebon, setelah tidak adanya penerus takhta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka.

Bratalegawa adalah seorang pangeran dari Kerajaan Galuh. Ia sebelumnya telah memeluk Islam di India, dan memutuskan untuk pindah ke Cirebon, serta menyebarkan Islam disana, dikarenakan pengaruh Hindu di Kawali, ibukota Galuh saat itu masih sangat kuat. Sebagai seorang saudagar, Bratalegawa juga berperan dalam memajukan perekonomian Cirebon, dimana Cirebon menjadi pintu utama ekspor dari barang-barang yang dihasilkan oleh Kerajaan Galuh.
Dalam artikel yang berjudul Mengembalikan Perdagangan Islam yang Berkeadilan, dalam acara konferensi Islam Internasional AICIS ke 12 di Surabaya, menjelaskan bahwa patut diduga penggunaan Dinar, Dirham, dan Fulus, telah terjadi pada masa Ki Gedeng Tapa, hal tersebut dikarenakan pada masa itu pelabuhan Muara Jati telah banyak dikunjungi kapal-kapal asing.

Cheng Ho dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1415, kedatangan Cheng Ho disambut oleh Ki Gedeng Tapa, Cheng Ho kemudian memberikan cenderamata berupa piring yang bertuliskan ayat kursi piring ini sekarang tersimpan di keraton Kasepuhan. Cheng Ho dan anak buahnya kemudian berbaur dengan warga sekitar dan berbagi ilmu pembuatan keramik, penangkapan ikan dan manajemen pelabuhan. Kung Wu Ping yaitu Panglima angkatan bersenjata pada armada Cheng Ho, kemudian menginisiasi pendirian sebuah mercusuar untuk pelabuhan Muara Jati, pembangunannya kemudian mengambil tempat di bukit Amparan Jati.
Pada masa persinggahan laksamana Cheng Ho tersebut, sangat dimungkinkan uang emas dan uang perak dijadikan sebagai alat tukarnya, karena uang emas dan uang perak telah menjadi standar internasional pada masa tersebut terutama di pelabuhan-pelabuhan internasional.

Pemukiman warga muslim Tionghoa pun kemudian dibangun di sekitar mercusuar bukit Amparan Jati, yaitu di wilayah Sembung, Sarindil dan Talang, lengkap dengan masjidnya. Pemukiman di Sarindil ditugaskan untuk menyediakan kayu jati, guna perbaikan kapal-kapal, pemukiman di Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat pelabuhan, pemukiman di Sembung ditugaskan memelihara mercusuar. ke 3 pemukiman Tionghoa tersebut secara bersama-sama ditugaskan pula memasok bahan makanan untuk kapal-kapal, masjid di wilayah Talang sekarang telah berubah fungsinya menjadi sebuah klenteng.

Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi, yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton Kanoman, kesultanan Kanoman. setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah, di sana nyimas Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab, dan menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon.

Sepulangnya dari melaksanakan haji, pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan, guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat, akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.


Pembangunan tajug Jalagrahan.
Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya, Syekh Datuk Kahfi untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, tetapi dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong, karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal di sana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan, maka Kepala Desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela, dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah putri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kepala desa yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.


Pada masa pemerintahan ki Danusela sebagai kepala desa Kebon Pesisir, dibangun juga tajug, atau mushola pertama di wilayah tersebut atas prakarsa dari menantunya, yaitu pangeran Walangsungsang, tajug tersebut bernama tajug Jalagrahan.