Gowa atau Bate Salapang, adalah sebuah kerajaan dan kesultanan yang berpusat di daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di jazirah selatan dan pesisir barat semenanjung, yang mayoritasnya didiami oleh suku Makassar. Wilayah inti bekas kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa, Kotamadya Makassar dan Kabupaten Takalar saat ini.
Berawal dari chiefdom, atau banua yang didirikan pada awal abad ke-14, Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya bersama Kerajaan Tallo sekitar tahun 1511 hingga 1669. Ketika kerajaan ini memegang hegemoni militer dan perdagangan atas wilayah timur Nusantara, termasuk di antaranya sebagian besar Sulawesi, beberapa bagian dari Maluku dan Nusa Tenggara, pesisir timur Kalimantan hingga Wilayah Utara. Dalam prosesnya menjadi kekaisaran maritim, Kerajaan Gowa mengembangkan berbagai inovasi dalam bidang pemerintahan, ekonomi dan militer. Perubahan sosial budaya yang drastis juga terjadi seiring mengeratnya hubungan antara Kerajaan Gowa dan dunia luar, terutama setelah Kerajaan Gowa mengadopsi Islam sebagai agama resmi pada awal tahun 1607.
Kekalahan Kerajaan Gowa dalam Perang Makassar yang terjadi pada tahun 1669, mengakibatkan lepasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa di luar Sulawesi Selatan, sementara sebagian kecil wilayahnya diberikan kepada VOC. Meski begitu, Kerajaan Gowa tetap bertahan sebagai negeri merdeka hingga awal abad ke-20, ketika pemerintah kolonial Belanda mengalahkan Gowa dalam Ekspedisi Sulawesi Selatan, dan menjadikannya daerah jajahan.
Sejarah awal.
Naskah Lontara Patturioloang Gowa menyebutkan bahwa, keturunan penguasa Kerajaan atau Kesultanan Gowa berawal dari perkawinan Tumanurung, yang secara harafiah dapat diartikan orang tidak diketahui asal muasalnya secara pasti, dengan seorang bangsawan yang hanya dikenali dengan Karaeng Bayo, sebagai perkawinan antara wanita bangsawan setempat dan penguasa. Bangsawan-bangsawan Bate Salapang di Gowa pun bersepakat membentuk negeri dan mengangkat mereka berdua suami-istri sebagai penguasa. Bukti genealogis dan arkeologis mengisyaratkan bahwa pembentukan negeri Gowa terjadi pada sekitar tahun 1320 Masehi. Para ahli mengaitkan kemunculan Kerajaan Gowa dan negeri-negeri di Sulawesi Selatan lainnya, dengan intensifikasi pertanian dan pemusatan pemerintahan besar-besaran pada abad ke-14, yang dipicu oleh naiknya permintaan luar bagi beras Sulawesi Selatan. Kepadatan penduduk turut meningkat seiring dengan pergantian dari budaya meladang, kepada budi daya padi lahan basah secara intensif. Hutan-hutan di pedalaman semenanjung pun dibuka untuk memberi tempat bagi pemukiman-pemukiman agraris baru, termasuk Gowa yang awalnya juga merupakan chiefdom pedalaman yang berbasiskan budi daya padi.
Dalam perang tahta antara dua putra "Sombaya ri Gowa" atau Raja di Kerajaan Gowa yang ke-enam pada akhir abad ke-15, Batara Gowa Tuniawanga ri Parallakkenna mengalahkan saudaranya, Karaeng Loe ri Sero'. Karaeng Loe ri Sero' kemudian menuju ke muara Sungai Tallo dan mendirikan negeri baru yang dikemudian hari dinamakan Tallo, yang kemudian berkembang menjadi negara maritim berbasis niaga. Hingga abad ke-16, bagian barat Sulawesi Selatan terdiri dari negeri-negeri sama kuatnya yang saling bersekutu dan bersaing satu sama lain, tanpa ada satu pun yang mampu menguasai keseluruhannya. Putra Batara Gowa, Karaeng Tumapaʼrisiʼ Kallonna, memecahkan keadaan status quo ini dengan menaklukkan pesisir Garassi' serta menyerang setidaknya 13 negeri bersuku Makassar lainnya. Pada akhir 1530 atau awal 1540, Kerajaan Gowa memenangkan perang melawan Kerajaan Tallo dan sekutu-sekutunya. Kerajaan Gowa pun menjadi negeri paling dominan di tanah suku Makassar dan diakui sebagai saudara tua oleh Kerajaan Tallo. Sombaya Tumapaʼrisiʼ Kallonna mengembangkan birokrasi kerajaan dengan menunjuk Daeng Pamatteʼ sebagai syahbandar pertama. Penyusunan catatan sejarah serta hukum tertulis kerajaan juga dimulai pada masa pemerintahannya. Ia juga kemungkinan merupakan penguasa Kerajaan Gowa yang pertama kali membangun benteng Somba Opu.
Penguasa Kerajaan Gowa berikutnya, Karaeng Tunipalangga, memperluas pengaruh Kerajaan Gowa melalui serangkaian agresi militer. Ia juga melakukan inovasi dalam bidang teknologi persenjataan dan pertahanan. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Gowa mengalahkan seluruh pesaingnya di pesisir barat dan memperluas pengaruhnya hingga ke wilayah Sulawesi Tengah. Sombaya Tunipalangga juga menerima orang-orang Melayu dan Nusantara Barat lainnya untuk bermukim dan sekaligus berniaga di negerinya. Ia bahkan mengadakan perjanjian dengan salah satu pemimpin mereka, dan memperbolehkan mereka untuk tinggal secara permanen di dalam wilayah Kerajaan Gowa tanpa harus mengikuti hukum adat setempat. Para pedagang ini kemungkinan juga turut terlibat dalam reformasi ekonomi yang berkontribusi pada kemajuan pesat Kerajaan Gowa, sebagai bandar persinggahan utama di Nusantara bagian timur kala itu. Sombaya Tunipalangga juga mengembangkan birokrasi Kerajaan Gowa lebih lanjut dengan menciptakan jabatan Tumilalang yang artinya mentri dalam negri, untuk mengambil alih tugas-tugas syahbandar, serta mengangkat Tumakkajannangngang atau kepala pengrajin yang bertugas mengawasi pekerjaan. Tumakkajannangngang adalah jabatan Panglima Angkatan perang Kerajaan atau kesultanan Gowa yang di masa pemerintahan raja atau Sombaya ri Gowa ke 15, jabatan tersebut diduduki oleh putra Beliau yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla'pangkana, yang dijuluki oleh admiral VOC Cornelius Spellman dengan julukan Ayam Jantan dari Timur.
Perluasan pengaruh Kerajaan Gowa di pesisir barat memicu respons agresif dari Kerajaan Bone di sebelah timur. Perang meletus pada awal 1560, dan baru berakhir pada 1565, dengan kekalahan Gowa. Karaeng Tunibatta, saudara dan penerus Sombaya Tunipalangga, mati dipenggal oleh musuh.
Selepas kematian Tunibatta, penguasa Kerajaan Tallo I Mappatakangkang Tana Daeng Padulung Tumenanga ri Makkoayang naik sebagai Tuma'bicara butta atau juru bicara negeri pertama di Gowa, dan mengangkat Karaeng Tunijalloʼ, putra Karaeng Tunibatta, sebagai penguasa Gowa. Sejak saat itu, penguasa Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo berbagi posisi dalam memimpin keseluruhan negeri Gowa dan negeri Tallo secara bersama-sama. Karaeng Tunijalloʼ mengakhiri peperangan dengan menandatangani Perjanjian Caleppa antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone, yang mempertahankan kedamaian di semenanjung selama kurang lebih enam belas tahun berikutnya. Selama itu pula, Sombaya Tunijalloʼ dan Karaeng Tumenanga ri Makkoayang melanjutkan kebijakan-kebijakan pro-perniagaan penguasa sebelumnya dan mengikat persahabatan dengan negeri-negeri lain di Nusantara.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, VOC berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik tahta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan VOC.
Pertempuran terus berlangsung, VOC menambah kekuatan pasukannya, hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perjanjian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak VOC minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan VOC, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat milik Kesultanan Gowa yaitu Benteng Somba Opu pada bulan Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa ke-1, Tumanurung, hingga mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian mengalami masa penjajahan di bawah kekuasaan Belanda. Dalam pada itu, sistem pemerintahan mengalami transisi pada masa Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, menyatakan Kesultanan Gowa bergabung menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten Gowa pertama.