KERAJAAN ISLAM TERTUA DI NUSANTARA

 

Kesultanan Perlak adalah kerajaan Islam di Indonesia, dan merupakan kesultanan yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak Aceh, disebut-sebut antara tahun 840, sampai dengan tahun 1292.  Perlak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama "Negeri Perlak".

Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.

Geografis Kerajaan Peureulak.

Selat Malaka sejak zaman dahulu terkenal sebagai jalur perdagangan utama Nusantara. Pedagang dari berbagai penjuru dunia berlayar melalui selat tersebut untuk melakukan perdagangan, dari selat tersebut masuk lah ajaran agama-agama baru ke Nusantara.

Sebelum berdirinya Kesultanan Malaka, pelayaran selat Malaka tidak melalui pantai Semenanjung Malaya, melainkan melalui sisi barat Selat Malaka menyisiri pantai-pantai Sumatera. Kota pelabuhan terpenting pada waktu itu adalah Melayu yang terletak di muara Sungai Batanghari, Jambi.

Pada bulan Desember hingga Maret di sebelah utara khatulistiwa bertiup lah angin musim timur laut, yang memungkinkan kapal-kapal dagang India dan negeri Cina berlayar ke perairan Selat Malaka. Kapal-kapal tersebut bertahan di perairan Selat Malaka hingga bulan Mei, sebelum mereka berlayar untuk kembali ke negeri masing-masing dengan memanfaatkan angin musim barat daya.

Hasil bumi Sumatera turut meramaikan perdagangan internasional di Selat Malaka. Daerah penghasil lada yang utama pada waktu itu adalah Aceh. Menurut para pedagang Arab dan Cina, penanaman lada di Aceh telah dimulai sejak abad ke-9, yakni di daerah-daerah Perlak, Lamuri, dan Samudra.

Meskipun demikian, lada bukan lah tanaman asli Aceh, melainkan tanaman dari Malagasi atau Madagaskar. Para pedagang dari Arab dan Persia membawa lada ke Aceh dan mencoba menanamnya di daerah tersebut. Dari percobaan tersebut ternyata tanah dan iklim Aceh sangat cocok untuk membudidayakan tanaman lada.

Dalam waktu singkat Aceh pun tumbuh menjadi daerah penghasil dan pengekspor terbesar lada pada masa itu. Bandar Perlak dijadikan bandar utama di pantai timur Sumatera bagian utara. Wilayah tersebut terus tumbuh dan berkembang hingga menjadi kota perdagangan internasional, yang banyak disinggahi pedagang dari penjuru dunia, termasuk pedagang muslim.

Hikayat Aceh.

Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatra dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syeikh Abdullah Arif pada tahun 506 Hijriah atau 1112 Masehi. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520 sampai 544 Hijriah atau 1161sampai 1186 masehi. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 Hijriah atau 1211 Masehi.

Buku Zhufan Zhi, yang ditulis Zhao Rugua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178, bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa. Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Zhufan Zhi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunei memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Tiongkok melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.

Perkembangan dan pergolakan.

Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah dan Sayyidatina Fatimah Az-Zahra Putri Rasulullah SAW, yang beraliran Syi'ah dan merupakan keturunan Rasulullah, ayahnya menikah dengan perempuan setempat di aceh, yaitu anak sultan perlak aceh, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 840 Masehi. Ia mengubah nama ibu kota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, islam mulai luas dikenal ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 913 Masehi, terjadi perang saudara antara kaum muslimin korban adu domba, sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.

Sultan Ali Mughat Shah yang beraliran Syi'ah memenangkan perang, dan pada tahun 915 Masehi, Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum muslimin, sebab adu domba yang kali ini dimenangkan oleh Sultan Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Johan Berdaulat.

Pada tahun 956 Masehi, setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara kaum muslimin, yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:

Perlak Pesisir dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah.

Perlak Pedalaman dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat.

Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kedatuan Sriwijaya menyerang Perlak, dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.

 

Serangan Sriwijaya.

Pada tahun 986 Masehi, Kedatuan Sriwijaya menyerang Kesultanan Peureulak Pesisir. Peperangan hebat pun pecah yang melibatkan pasukan kedua kerajaan tersebut. Dalam perang ini, Sultan Peureulak Pesisir, yaitu Sultan Alaiddin Syad Maulana Mahmud Syah gugur dalam peperangan.

Pasca gugurnya Sultan Peureulak Pesisir, wilayah kesultanan Perlak secara keseluruhan akhirnya dikuasai oleh Sultan Peureulak Pedalaman. Kehadiran pasukan Sriwijaya di wilayah Peureulak, segera direspon oleh Sultan Malik Ibrahim Syah dengan mengobarkan semangat rakyat Peureulak untuk melawan Sriwijaya.

Pertempuran besar pun terjadi selama bertahun-tahun. Perang antara kedua kerajaan itu baru berakhir pada tahun 1006 Masehi, ketika Sriwijaya memutuskan mundur dari pertempuran untuk bersiap menghadapi serangan raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa.

Dengan berakhirnya perang antara Kesultanan Peureulak dan Kedatuan Sriwijaya, wilayah Peureulak secara keseluruhan dipimpin oleh keturunan Sultan Malik Ibrahim Syah. Pada masa ini kondisi Kesultanan Perlak relatif damai, tanpa adanya peperangan melawan kerajaan luar.

Penyatuan dengan Samudera Pasai.

Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:

Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah.

Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.

Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat. Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.